“PERSPEKTIF PLURALISME DALAM KONFLIK ANTAR BERAGAMA DI INDONESIA”
A. LATAR BELAKANG
Harmoni umat beragama di negeri kita tengah mendapat ujian cukup serius. Emosi di satu pihak ataupun beberapa pihak, serta provokasi dan ketidakpatuhan terhadap aturan main yang sudah disepakati bersama di pihak lain, melahirkan tindak kekerasan yang merusak kehidupan beragama di indonesia. Toleransi seperti kehilangan mantra mujarabnya. Dialog-dialog antar agama bahkan sesama pemeluk agama seperti hampa tanpa makna dan tidak berarti lagi. Antara apa yang diajarkan oleh agama dengan praktikal seperti begitu berjarak dan sangat jauh dari pedoman yang telah diajarkan. Apa sesungguhnya yang harus dilakukan untuk menjaga harmoni kehidupan umat beragama di Indonesia?
Indonesia adalah negara multietnis dan multiagama dengan ragam variasi budaya dan model-model pemahaman dan praktikal keagamaan yang tidak homogen. Disharmoni dengan begitu akan sangat rawan terjadi. Agama adalah kebenaran, demikian para pemeluknya menyebutnya, sehingga berkonsekuensi pada anggapan ketersesatan seseorang yang tidak memegang teguh agama atau orang di luar agamanya. Maka, terbentuklah semacam blok atau wilayah-wilayah agama yang melahirkan dikotomi: ‘kami’ atau ‘mereka’. Nyaris tidak ada jembatan yang mengantarkan ‘kami’ dan ‘mereka’ pada satu titik persamaan,
Konsep pluralisme agama bukan menyamakan ajaran semua agama, tetapi mengarahkan pemeluk agama untuk menghargai dan menghormati pemeluk agama lain dengan memahami bahwa pemeluk agama lain juga memiliki keyakinan yang sama tentang kebenaran agama yang dipeluk atau dianutnya, seperti keyakinannya terhadap agama yang dipeluknya. Masing-masing pemeluk agama itu meyakini adanya Tuhan, dan karena keyakinan itulah mereka beragama. Tetapi, apakah dengan keragaman agama itu Tuhan berarti juga sebanyak itu? Masing-masing agama meyakini bahwa Tuhan itu satu, tetapi memiliki sifat-sifat yang lebih dari satu yang sering dianggap oleh orang yang berlainan agama sebagai ‘Tuhan yang lain’ atau ‘Tuhan berbilang’
Semua individu meyakini adanya Tuhan, bahkan orang yang menyebut dirinya atheis sekali pun. Tetapi, dalam mempersepsikan Tuhan, masing-masing individu berbeda. Ini hal natural dalam diri manusia. Dan keberadaaan agama-agama yang beragam secara terang menunjukkan bagaimana persepsi tentang Tuhan yang berbeda-beda itu menemukan relevansinya. Maka beragama tidak mungkin dipaksakan, karena itu berarti sama dengan ‘penjajahan’ atas nama Tuhan dalam persepsi orang lain.
Secara fundamental, masing-masing agama menawarkan konsep dan membiarkan orang yang ditawari untuk menggunakan haknya: menerima atau menolak. Maka, akan menjadi irrelevan ketika kemudian umat beragama mencoba memaksakan kehendak terhadap orang yang berlainan agama, apalagi dengan jalan kekerasan, intimidasi, teror, agitasi, dan provokasi. atau menciptakan suasana tidak kondusif yang merusak harmoni kehidupan yang heterogen. Selamanya agama tidak akan bisa dipaksakan. Ketika agama dipaksakan, yang muncul adalah sebauh perlawanan balik. Jika ini yang terjadi, yang terlihat dari agama justru ‘wajah seramnya’, bukan ‘wajah santunnya’.
Antara ajaran agama dengan sikap pemeluk agama memang tidak selalu selaras. Apa yang dilakukan oleh pemeluk agama tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai representasi dari ajaran agama yang dipeluknya. Antara ajaran agama dengan fakta umat beragama tidak selalu linear. Seseorang yang mengaku beragama, tetapi akhlaknya terhadap sesama buruk merupakan sebauh pertanyaan yang sangat menarik. Kekerasan terhadap pemeluk agama, apalagi pelakunya beragama lain, dari agama mana pun pelakunya, atau apa pun motifnya, jelas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir oleh ajaran semau agama. Semua pihak, mana pun itu, harus saling menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi perbedaan agama dan keyakinan serta aturan main (hukum dan perundang-undangan) yang berlaku. Kita berharap harmoni umat beragama tetap terjaga dengan menanggalkan emosi di satu pihak, dan provokasi di pihak lain.*
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang yang telah di paparkan diatas dapat di berikan beberapa rumusan masalah yang akan di bahas pad bab selanjutnya yang merupakan pembahasan dari makalah ini, yaitu :
1. Apakah yang di maksud dengan agama?
2. Apakah yang di maksud dengan pluralisme?
3. Bagaiman hubungan antara agama dan konsep pluralisme?
4. Bagaiman hubungan pluralism dengan konflik?
C. TUJUAN
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Sebagai bahan pemenuhan tugas pengganti final Sosiologi Agama
2. Sebagai bahan pelajaran untuk pembuatan jurnal yang di galakkan oleh jurusan Sosiologi Fisip Unhas
3. Sebagai bahan referensi teman-teman untuk pembuatan makalah lain
BAB II PEMBAHASAN
A. Defenisi Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan doktrin.
Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yaitu hal-hal yang dibolehkan dan dilarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain. Agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia. “Agama merupakan seperangkat kepercayaan dan simbol-simbol (dan nilai-nilai yang secara langsung diperoleh dari situ) yang bertalian dengan pembedaan antara suatu realitas transenden yang empiris dengan yang superempiris; masalah-masalah empiris disub-ordinatkan artinya terhadap yang non-empiris.
Agama adalah jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan, dan kekauatan supernatural. Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisasi, yang didasarkan pada keyakinan yang tidak terbukti, yang mempostulatkan adanya makhluk-makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural yang menguasai dunia fisik dan social.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh Muhammad Wahyuni Nifis (Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan. Dengan agama individu mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana wata’ala dalam Islam. Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut : “Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”
B. Sejarah berkembangannya pluralis dan pengertiannya
Secara psikologis perkembangan atas gagasan pluralisme lahir sebagai trauma Barat atas doktrin-doktrin yang ketat dari gereja Katolik, yang menyentuh tidak hanya relung religius dari masyarakat melainkan sampai kepada kehidupan sosial dengan mewujudkan dirinya dalam sebuah kekuasaan Negara. Hegemoni Paus dan gereja, pada saat itu justru memunculkan semangat baru dari masyarakat untuk mewujudkan dirinya dalam sebuah Nation-State. Dimulai dengan pemikiran filosofis Machiavelli (The Prince), Gerakan ini kemudian memuncak pada pencarian bagi kebebasan sosial dan politik dalam Revolusi Prancis yang agung (1789-1799) dengan semangat “Liberte, Egalite, Fraternite ou la mart”. Sejak saat itulah pluralisme mengejawantah dalam karya-karya dari Rousseau, Voltaire, De Secondat ataupun Montesqiueu.
Akan tetapi pendapat lain juga muncul berkaitan dengan kelahiran gagasan pluralisme, bahwa pluralisme merupakan hukum Tuhan bagi umatNya yang berlaku secara tetap dan abadi, sehingga tidak mungkin untuk dirubah ataupun diingkari. Sebagaimana tercantum dalam Al Quran (49:13) : “Manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal dan menghargai”. Pola pluralitas selalu memerlukan adanya titik temu dalam nilai kesamaan dari semua kelompok yang ada. Sementara dari sudut pandang Islam, mencari dan menemukan titik kesamaan itu adalah bagian dari ajarannya yang sangat penting.
Pluralisme mengandung berbagai macam definisi yang berkembang terus sampai saat ini. Sebagaimana Raimundo Panikkar yang memberikan penjelasan bahwa pluralisme tidak hanya bermakna sebagai sebuah pluralitas belaka ataupun sebuah reduksi pluralitas dari suatu unitas. Sehingga pluralisme bermakna lebih dari sekedar menerima keberadaan realitas plural yang ada di dunia ataupun bukan sekedar memandang pluralisme hanya sebagai sebuah paham tentang pluralitas. Pluralisme agama, dengan demikian menerima aspek irreconcilable dari agama-agama dengan tanpa menutup unsur common aspect yang dimiliki bersama. Sedangkan John Cobb memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-agama lain mungkin berbicara secara berbeda dengan agama kita tetapi tetap dimungkinkan bahwa mereka juga memiliki kebenaran yang sama validnya dengan agama kita. Kebenaran agama, oleh karenanya, tidak dimonopoli oleh satu agama saja akan tetapi bersifat plural.
Nurcholish Madjid menerjemahkan pluralisme sebagai suatu sistem nilai yang memandang secara positif – optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Atau dengan kata lain pluralisme dapat dimaknai sebagai sebuah paham yang menegaskan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima. Sedangkan Osman lebih menegaskan bahwa pluralisme adalah bentuk kelembagaan di mana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat tertentu atau dunia secara keseluruhan. Sehingga makna pluralisme lebih dari sekedar toleransi moral atau koeksistensi pasif. Karena toleransi adalah persoalan kebiasaan dan perasaan pribadi, sedangkan koeksistensi adalah semata-mata penerimaan terhadap pihak lain yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Mungkin bisa dikatakan bahwa tidak ada sumber teologis yang dapat menggambarkan secara pasti mengenai Tuhan itu sendiri, keinginan-Nya dan tujuan-Nya, sejak manusia berhubungan dengan Tuhannya melalui wahyu.
John Hick yang memaknai pluralisme agama dengan menjelaskan bahwa agama-agama lain adalah jalan yang sama validnya dengan agama yang kita anut, dalam wujudnya untuk mencapai suatu kebenaran. Hicks justru lebih menekankan pentingnya sisi soteriologis dari sumber-sumber teologis agama untuk memproduksi moralitas dan etika positif bagi para penganutnya, dengan secara sesungguhnya menuju ke titik akhir yang sama yakni kebenaran dan kebaikan,lebih daripada memperbesar jurang keyakinan bersama. Pandangan Hicks mengenai pluralisme agama ini memiliki sisi lain, selain sisi soteriologis, yakni pluralisme religius normatif sebagai suatu doktrin bahwa secara moral, umat beragama wajib untuk menghargai sesama pemeluk agama lainnya. Pada sisi ini Hicks mengajak seluruh umat beragama untuk mengembangkan semangat toleransi. Sedangkan pada sisi berikutnya Hicks memfokuskan pada pluralisme religius epistemologis, yang dimaknai sebagai tidak ada klaim tunggal atas kebenaran dari sebuah agama saja. Sehingga secara keseluruhan, Hicks mencoba menawarkan paham pluralisme sebagai sebuah pengembangan atas inklusivisme yang dengannya seluruh agama adalah jalan yang berbeda-beda namun menuju satu tujuan yang sama yakni kebenaran dan kebaikan.
C. Agama dan konsep Pluralisme di Indonesia
Agama adalah suatu ajaran tentang perdamaian. Jadi sangat mengherankan jika ada suatu agama tertentu yang menghalalkan adanya kekerasan. Kekerasan hanya semakin membuat kita menjauh dari esensi dasar ajaran ketuhanan. Dalam agama yang paling di junjung tinggi adalah sikap toleransi antar sesama. Jadi jika ada agama yang mengajarkan bukan sikap toleransi bisa jadi agama tersebut bukanlah dapat di sebut agama. Bisa jadi mereka hanyalah aliran atau sekte-sekte yang menjauh dari ajaran dasar sebuah agama dan berusaha menggangu kestabilan kehidupan bermasyarakat.
Agama adalah hal-hal yang dapat melahirkan perdamaian antar sesama. Konsep pluralisme mangatakan agama adalah alat penyatu bangsa dan bangsa yang besar adalah bangsa yang lahir dari banyaknya perbedaan dalam hal ini adalah konsep multicultural dan multietnis. Pluralisme dan agama menawarkan jalan hidup menuju peradaban yang serasi dan seimbang. Pluralisme harus dipahami sebagai jalan hidup yang memaknai sebuah pertalian sejati keberagaman dalam suatu peradaban. Yang tentunya berakhir pada jalan keselamatan bersama umat manusia, dengan mendasarkan dirinya pada persaudaraan, kesetaraan, pengawasan dan perimbangan guna memelihara keutuhan peradaban manusia. Jadi pluralisme ini adalah satu kata yang sangat sederhana tapi dalam implementasi dikehidupan nyata sangatlah sulit. Disamping ego masyarakat atau ego dari kaum mayoritas kepada kaum yang minoritas yang masih sangat kental di Indonesia.
Jadi dapat dikatakan bahwa agama dan pluralisme adalah suatu hal yang sangat selaras dan relevan dengan konsep masyarakat di Indonesia sekarang ini. Meskipun kenyataan yang ada di lapangan bahwa konsep pluralisme ini menjadi barang yang mahal di temui di Indonesia yang dalam tanda kutip sedang krisis kepercayaan terhadap orang lain. Meskipun begitu, pluralisme masih disuarakan oleh beberapa kalangan walaupun masih menjadi opini yang belum di galakkan.
Konsep agama dan agama apapun mengajarkan sikap toleransi dan itu sejalan dengan konsep pluralisme yang sekarang sudah hampir tenggelam yang disebabkan stigma kaum minoritas yang dikuasai oleh kaum mayoritas. Yang paling nyata adalah dalam kebijakan pemerintah yang cenderung menjadi sebauh kebijakan kepentingan yang menguntungkan suatu golongan tertentu.
Melihat kondisi dan fakta yang terjadi sekarang, pluralisme adalah hal yang utopis di Indonesia. Kehancuran moral bangsa dan kebobrokan penyelenggara pemerintahan bukti nyata agama hanyalah symbol bagi individu-individu yang haus akan materi atau duniawi. Peran agama menjadi sangat semu dan menjalar kepada masyarakat yang sudah lelah mencari keadilan. Penghargaan atas individu lain atau golongan sudah menjadi hal yang langka. Hal ini selaras dengan konsep Karl Marx yang mengatakan agama hanyalah sebuah candu di masyarakat yang membius masyarakat dalam kehidupan bermnasyarakat atau Emile Durkheim yang mengatakan agama hanyalah sebuah symbol dalam konsep agnostiknya.
D. Pluralisme dan Konflik
Pluralisme tidaklah dapat hanya dipahami dengan mengatakan bahwa masyarakat adalah majemuk, penuh dengan keanekaragaman dan terdiri dari banyak nilai-nilai, yang tentu saja akan mendorong kita untuk menangkap kesan fragmentasi yang kental. Tetapi pluralisme juga tidak bisa dipahami hanya sekedar sebuah “Kebaikan Negatif” belaka, yang mencoba menyingkirkan fanatisme dan ortodoksi yang lainnya. Dan karenanya pluralisme harus dipahami sebagai jalan hidup yang memaknai sebuah pertalian sejati keberagaman dalam suatu peradaban. Yang tentunya berakhir pada jalan keselamatan bersama umat manusia, dengan mendasarkan dirinya pada persaudaraan, kesetaraan, pengawasan dan perimbangan guna memelihara keutuhan peradaban manusia. Oleh karena pluralisme menginginkan keharmonisan dari interaksi yang dibangun di atas landasan keragaman dan perbedaan dengan meminimalisir konflik. Karena adanya perbedaan agama-agama, maka pluralisme lebih mencoba untuk menekankan pentingnya mengelola berbagai perbedaan tersebut. Sebab apabila perbedaan itu tidak dapat dikelola, dapat melahirkan konflik yang berasal dari berbagai kesalah pahaman antar manusia.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh agama pada era modern ini bukanlah datang dari kaum atheis, melainkan justru dari para penganutnya sendiri, yang secara lantang meneriakkan Tuhan di berbagai momen-momen kekerasan. Dan dengan atas nama Tuhan pula, para pengikut agama ini melakukan tindakan-tindakan yang justru diharamkan oleh agama. Kekerasan dan agama menjadi sebuah sinonim yang memberi warna hitam pada abad modern ini dengan semburan darah dan hilangnya nyawa manusia secara sia-sia. Sehingga tak pelak lagi kita mulai mempertanyakan: “Untuk apa ada agama kalau para pengikutnya justru saling bertarung dan menghancurkan?” dan “Dimana Tuhan ketika para pemuja-Nya saling berbunuh dan menghancurkan atas nama-Nya? ”. Bukankah Tuhan memiliki kekuasaan untuk menghentikan semua ini? Agama kemudian berkembang dengan rasionalitasnya sendiri yang sangat irrasional bagai penyebaran waham secara masif. Agama seakan bangkit bukan untuk menebar kedamaian tapi justru mengabarkan kekerasan dan permusuhan antar manusia.
Agama dan kaum ulama menjadi lemah di hadapan kaum atheis, dengan pertanda awal bahwa bukanlah atheisme yang berbahaya bagi kemanusiaan dan peradabannya melainkan ulama dan agama-lah yang terus menerus menyebarkan pandangan-pandangan obskurantis yang sangat anti kemajuan. Kekerasan yang sering nampak di mata kita yang bearoma agama bukanlah mencerminkan kegagalan agama dalam menjadikan ummatnya menjadi lebih baik, tetapi itu lebih di karenakan kegagalan para pemimpin membawa ummatnya terdepan dalam meminimalisir tindak kekerasan di daerah kekuasaannya. Kekerasan di sebabkan kondisi psikologis masyarakat terutama di daerah perkotaan yang menghadapi masalah social dan masalah ekonomi yang kian mencekik masyarakat golongan ke bawah.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mencita-citakan kehidupan yang damai, dalam konteks gaya pemikiran umat beragama di negeri ini, tak bisa dilepaskan dari peran para tokoh agama. Kenyataanya, umat masih menggantungkan diri dalam hal membaca pesan suci agama yang dianut. Tokoh agama masih menjadi kiblat, rujukan umatnya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, apa makna liyan dan bagaimana memperlakukannya.
Tidak perlu mencari mana agama yang membawa kedamaian dan mana yang tidak, agama mana yang menghargai perbadaan dan mana yang tidak, karena keyakinan semua agama yang ada mempunyai misi yang sama: menciptakan ketenangan meskipun dalam skala kecil, diri pribadi. Kalau hendak memahami perilaku umat beragama, entah itu yang sopan atau tidak sopan, soleh atau tidak soleh, maka yang perlu kita pahami adalah siapa tokoh yang dijadikan anutan, kiblat, rujukan dalam memahami agamanya. Jadi kekerasan yang diatasnamakan agama tidak bisa digenalisir bahwa ajaran agama A ternyata mengajarkan kekerasan. Melihat kenyataannya, dalam satu agama saja ada yang menentang tindakan anarkis maupun menampik tindakan pelecahan terhadap agama lain.
Kedamaian diwujudkan tidak hanya dengan mendialogkan, mencari nilai-nilai suci suatu agama, melainkan mendialogkan antar pemikir, antar mufasir agama tersebut, merekalah yang menjadi penerjemah nilai-nilai agama yang kemudian diikuti oleh kalangan awam umat beragama. Sementara plualisme yang kita gemborkan tetapi di dalam diri kita belum mampu bebuat adil terhadap keluarga sendiri dan tidak menghargai pendapat orang lain.
Indonesia adalah negara yang sangat kaya dengan kebudayaan, maka seharusnya kebebasan beragama telah mudah untuk di uji karena di sebabkan Indonesia telah berpengalaman dalam hal kebudayaan yang sangat multietnis dan muktiras. Jadi yang dapat di simpulkan bahwa konflik antar beragama lebih di sebakan kehidupan masyarakat yang sudah sangat kompleks dan heterogen terlebih di daerah perkotaan yang sangat rawan. Pemasalahan ekonomi dan perubahan struktur kehidupan yang di akibatkan penerimaan masyarakat yang tidak mudah di serap dapat menimbulkan gejolak antar ummat beragama atau antar sesama pemeluk agama.
Tantangan kehidupan beragama di masyarakat dapat di minimalisir jika kita kembali menggalakkan falsafah bangsa kita yaitu ideology pancasila dan melaksanakan dengan semaksimal mungkin jika kita menghendaki perubahan dalam tatanan kehiduapn berbangsa dan bernegara kita dalam hal ini khusus untuk agama yang sangat sensitive dan menjadi tulang punggung kemajuan bangsa Indonesia.
B. SARAN
Saran dari makalah ini adalah :
1. Dalam pembuatan makalah ini sebaiknya banyak di sertai denagn literature yang ada dan lebih memperkaya lagi konsep dan teori yang digunakan
2. Hendaknya memakai bahasa yang formal dalam menyusun makalah ini
DAFTAR PUSTAKA