AGAMA SUMBER KEDAMAIAN?




Kekerasan atas nama agama, atau kekerasan yang dimotori oleh embel-embel agama setidaknya sering terjadi dan mudah sekali terjadi di Indonesia dan konflik ini tidak hanya terjadi di indonesia, tapi yang mengagetkan lagi baru-baru ini terjadi di Myanmar. Sepertinya agama hanya merupakan sebauh simbol dan berlalunya kekerasan di sebabkan sistem sekularisme yang memisahkan antara aagam dan pemerintahan, bukannya agama selaras dengan pemerintahan.
Agama seolah menjadi titik akhir harga martabat manusia. Agama perlu dibela, agama perlu dilindungidari intervensi, pengobok-obakan dan pelecehan dari liyan. Agama seolah menjadi perawan yang harus dijaga oleh orang tua dari tangan-tangan jahil. Sehingga, menurut penulis, agama bukanlah sumber kedamaian tetapi agamalah yang harus didamaikan. Dan yang mendaimaikan tak lain adalah umatnya. 
Umat beragama inilah yang menjadikan agama hidup, agama itu dipahami, dimaknai dan kemudian dilaksanakan dalam tataran praksis. Agama bukan yang menggerakkan umat beragama dalam kedamaian, kecuali hanya sebatas inspirator bagi umatnya, setelah itu wewenang dan kuasa untuk praktek dari inspirasi tersebut adalah umat itu sendiri. Hal ini tentunya telah melalui berbagai pergumulan pikiran dan pemikiran baik itu daam tataran pikiran umat itu sendiri atau melalui pemikiran orang-orang yang dianggap suci dalam agama tersebut (tafsir para ulama, pastor, dll ) dalam menerjemahkan teks (kitab) suci agama tersebut.
Peran mufasirin inilah yang berperan penting dalam memaknai agama bagi umatnya, yang nantinya terwujud dalam kehidupan beragama. Hal ini tentunya mempunyai catatan tersendiri, yakni bagi umat yang merasa bahwa hasil interprestasi dari mufasirin itu sesuatu yang suci dan selanjutnya disakralkan, tak bisa diotak-atik lagi, (pintu ijtihad tertutup).
Mencita-citakan kehidupan yang damai, dalam konteks gaya pemikiran umat beragama di negeri ini, tak bisa dilepaskan dari peran para tokoh agama. Kenyataanya, umat masih menggantungkan diri dalam hal membaca pesan suci agama yang dianut. Tokoh agama masih menjadi kiblat, rujukan umatnya, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, apa makna liyan dan bagaimana memperlakukannya.
Mencari mana agama yang membawa kedamaian dan mana yang tidak, agama mana yang menghargai perbadaan dan mana yang tidak, karena penulis mempunyai keyakinan semua agama yang ada mempunyai misi yang sama: menciptakan ketenangan meskipun dalam skala kecil, diri pribadi. Kalau hendak memahami perilaku umat beragama, entah itu yang sopan atau tidak sopan, soleh atau tidak soleh, maka yang perlu kita pahami adalah siapa tokoh yang dijadikan anutan, kiblat, rujukan dalam memahami agamanya. Jadi kekerasan yang diatasnamakan agama tidak bisa digenalisir bahwa ajaran agama A ternyata mengajarkan kekerasan. Melihat kenyataannya, dalam satu agama saja ada yang menentang tindakan anarkis maupun menampik tindakan pelecahan terhadap agama lain. Kedamaian diwujudkan tidak hanya dengan mendialogkan, mencari nilai-nilai suci suatu agama, melainkan mendialogkan antar pemikir, antar mufasir agama tersebut, merekalah yang menjadi penerjemah nilai-nilai agama yang kemudian diikuti oleh kalangan awam umat beragama.