BAB
I PENDAHULUAN
SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI INDONESIA
A.
LATAR BELAKANG
Demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui
perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa
Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang
dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos)
"kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan
abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno,
khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah
demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu
bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan
berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham
Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi
sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat
dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di
dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil
berdasarkansuara terbanyak
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang
Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara
demokrasi. Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada
MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara
hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme
perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi
singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu
bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi
terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami
masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk
melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam
demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto
tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999
yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai
pemenang Pemilu.
Diskursus demokrasi di Indonesia tak dapat
dipungkiri, telah melewati perjalanan sejarah yang demikian panjangnya.
Berbagai ide dan cara telah coba dilontarkan dan dilakukan guna memenuhi
tuntutan demokratisasi di negara kepulauan ini. Usaha untuk memenuhi tuntutan
mewujudkan pemerintahan yang demokratis tersebut misalnya dapat dilihat dari
hadirnya rumusan model demokrasi Indonesia di dua zaman pemerintahan Indonesia,
yakni Orde Lama dan Orde Baru. Di zaman pemerintahan Soekarno dikenal yang
dinamakan model Demokrasi Terpimpin, lalu berikutnya di zaman pemerintahan
Soeharto model demokrasi yang dijalankan adalah model Demokrasi Pancasila.
Namun, alih-alih mempunyai suatu pemerintahan yang demokratis, model demokrasi
yang ditawarkan di dua rezim awal pemerintahan Indonesia tersebut malah
memunculkan pemerintahan yang otoritarian, yang membelenggu kebebasan politik
warganya.
Dipasungnya demokrasi di dua zaman pemerintahan
tersebut akhirnya membuat rakyat Indonesia berusaha melakukan reformasi sistem
politik di Indonesia pada tahun 1997. Reformasi yang diperjuangkan oleh
berbagai pihak di Indonesia akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang
otoriter di tahun 1998. Pasca kejadian tersebut, perubahan mendasar di berbagai
bidang berhasil dilakukan sebagai dasar untuk membangun pemerintahan yang solid
dan demokratis. Namun, hingga hampir sepuluh tahun perubahan politik pasca
reformasi 1997-1998 di Indonesia, transisi menuju pemerintahan yang demokratis
masih belum dapat menghasilkan sebuah pemerintahan yang profesional, efektif,
efisien, dan kredibel. Demokrasi yang terbentuk sejauh ini, meminjam istilah
Olle Tornquist hanya menghasilkan Demokrasi Kaum Penjahat, yang lebih
menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan ketimbang kepentingan rakyat
sebagai pemilik kedaulatan. Tulisan ini berusaha menguraikan lebih lanjut
bagaimana proses transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia belum
menuju kepada proses yang baik, karena masih mencerminkan suatu pragmatisme
politik. Selain itu di akhir, penulis akan berupaya menjawab pilihan demokrasi
yang bagaimana yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Munculnya Kekuatan Politik Baru yang Pragmatis Pasca
jatuhnya Soeharto pada 1998 lewat perjuangan yang panjang oleh mahasiswa,
rakyat dan politisi, kondisi politik yang dihasilkan tidak mengarah ke
perbaikan yang signifikan. Memang secara nyata kita bisa melihat perubahan yang
sangat besar, dari rezim yang otoriter menjadi era penuh keterbukaan. Amandemen
UUD 1945 yang banyak merubah sistem politik saat ini, penghapusan dwi fungsi
ABRI, demokratisasi hampir di segala bidang, dan banyak hasil positif lain.
Namun begitu, perubahan-perubahan itu tidak banyak membawa perbaikan kondisi
ekonomi dan sosial di tingkat masyarakat.
Perbaikan kondisi ekonomi dan sosial di masyarakat
tidak kunjung berubah dikarenakan adanya kalangan oposisi elit yang menguasai
berbagai sektor negara. Mereka beradaptasi dengan sistem yang korup dan
kemudian larut di dalamnya. Sementara itu, hampir tidak ada satu pun elit lama
berhaluan reformis yang berhasil memegang posisi-posisi kunci untuk mengambil
inisiatif. Perubahan politik di Indonesia, hanya menghasilkan kembalinya
kekuatan Orde Baru yang berhasil berkonsolidasi dalam waktu singkat, dan
munculnya kekuatan politik baru yang pragmatis. Infiltrasi sikap yang terjadi
pada kekuatan baru adalah karena mereka terpengaruh sistem yang memang
diciptakan untuk dapat terjadinya korupsi dengan mudah.
Selain hal tersebut, kurang memadainya pendidikan
politik yang diberikan kepada masyarakat, menyebabkan belum munculnya
artikulator-artikulator politik baru yang dapat mempengaruhi sirkulasi elit
politik Indonesia. Gerakan mahasiswa, kalangan organisasi non-pemerintah, dan
kelas menengah politik yang ”mengambang” lainnya terfragmentasi. Mereka gagal
membangun aliansi yang efektif dengan sektor-sektor lain di kelas menengah.
Kelas menengah itu sebagian besar masih merupakan lapisan sosial yang berwatak
anti-politik produk Orde Baru. Dengan demikian, perlawanan para reformis
akhirnya sama sekali tidak berfungsi di tengah-tengah situasi ketika hampir
seluruh elit politik merampas demokrasi. Lebih lanjut, gerakan mahasiswa yang
pada awal reformasi 1997-1998 sangatlah kuat, kini sepertinya sudah kehilangan
roh perjuangan melawan pemerintahan. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh
berbedanya situasi politik, tetapi juga tingkat apatisme yang tinggi yang
disebabkan oleh depolitisasi lewat berbagai kebijakan di bidang pendidikan.
Mulai dari mahalnya uang kuliah yang menyebabkan mahasiswa dituntut untuk
segera lulus. Hingga saringan masuk yang menyebabkan hanya orang kaya yang
tidak peduli dengan politik.
Akibat dari hal tersebut, representasi keberagaman
kesadaran politik masyarakat ke dunia publik pun menjadi minim. Demokrasi yang
terjadi di Indonesia kini, akhirnya hanya bisa dilihat sebagai demokrasi
elitis, dimana kekuasaan terletak pada sirkulasi para elit. Rakyat hanya
sebagai pendukung, untuk memilih siapa dari kelompok elit yang sebaiknya
memerintah masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dari
latar belakang yang telah dijelaskan, dapat di berikan rumusan masalah yang
akan dibahas di bab selanjutnya, yaitu :
1.
Apakah
prinsif demokrasi?
2.
Apakah
sistem politik indonesia sudah demokrasi?
3.
Bagaimana
kapabilitas sistem politik dalam melihat sistem politik indonesia?
BAB II PEMBAHASAN
Prinsip-prinsip demokrasi
Rakyat dapat secara bebas
menyampaikan aspirasinya dalam kebijakan politik dan sosial. Prinsip demokrasi
dan prasyarat dari berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi
dalam konstitusi Negara Kesatuan RepublikIndonesia.
Prinsip-prinsip demokrasi, dapat ditinjau dari pendapat Almadudiyang
kemudian dikenal dengan "soko guru demokrasi". Menurutnya, prinsip-prinsip
demokrasi adalah:
1.
Kedaulatan rakyat;
2.
Pemerintahan
berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
3.
Kekuasaan mayoritas;
4.
Hak-hak minoritas;
5.
Jaminan hak
asasi manusia;
6.
Pemilihan yang
bebas dan jujur;
7.
Persamaan di
depan hukum;
8.
Proses hukum yang wajar;
9.
Pembatasan
pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralisme sosial, ekonomi,
dan politik;
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerja
sama, dan mufakat.
Asas Pokok Demokrasi
Gagasan pokok atau gagasan dasar suatu
pemerintahan demokrasi adalah pengakuan hakikat manusia, yaitu pada
dasarnya manusia mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungan sosial.
Berdasarkan gagasan dasar tersebut terdapat dua asas pokok demokrasi, yaitu:
1.
Pengakuan partisipasi rakyat
dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga
perwakilan rakyat secara langsung,umum, bebas, dan rahasia serta
jujur dan adil; dan
2.
Pengakuan hakikat
dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk
melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama.
Ciri-Ciri Pemerintahan Demokratis
Pemilihan umum secara langsung mencerminkan
sebuah demokrasi yang baik. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu
tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir
seluruh negara di dunia. Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi
adalah sebagai berikut:
1.
Adanya keterlibatan
warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung
maupun tidak langsung (perwakilan).
2.
Adanya pengakuan, penghargaan,
dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
3.
Adanya persamaan
hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
4.
Adanya lembaga
peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hokum
5.
Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi
seluruh warga negara.
6.
Adanya pers (media
massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan
kebijakan pemerintah.
7.
Adanya pemilihan
umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
8.
Adanya pemilihan
umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan
pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
9.
Adanya pengakuan
terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Sejak merdeka, Indonesia telah mempraktekkan
beberapa sistem politik pemerintahan atas nama demokrasi, dari, oleh dan untuk
rakyat.
1.
Tahun 1945-1959;
Demokrasi Parlementer, dengan ciri ;
·
Dominasi partai
politik di DPR Kabinet silih berganti dalam waktu singkat
·
Demokrasi
Parlementer ini berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
2.
Tahun 1959-1965;
Demokrasi Terpimpin, dengan ciri-ciri :
·
Dominasi presiden,
yang membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, menggantikannya dengan DPR-GR yang
diangkat oleh Presiden, juga diangkat presiden seumur hidup oleh anggota
parlemen yang diangkat presiden itu. Terbatasnya peran partai politik
Berkembangnya pengaruh komunis
·
Munculnya ideologi
Nasional, Agama, Komunis (NASAKOM)
·
Meluasnya peranan
militer sebagai unsur sosial politik
·
Demokrasi terpimpin
berakhir dengan pemberontakan PKI September 1965.
3.
Tahun 1965-1998;
Demokrasi Pancasila; dengan ciri-ciri:
·
Demokrasi
berketuhanan
·
Demokrasi yang
berkemanusiaan yang adil dan beradab
·
Demokrasi bagi
persatuan Indonesia
·
Demokrasi yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
·
Demokrasi
berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kita tidak menafikan betapa indah susunan kata
berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, tetapi pada tataran praksis sebagaimana
yang kita lihat dan rasakan:
1)
Mengabaikan
eksistensi dan peran Tuhan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana
tidak merasa dikontrol oleh Tuhan. Para pemimpin, terutama presiden tabu untuk
dikritik, apalagi dipersalahkan. Ini bermakna menempatkan dirinya dalam posisi
Tuhan yang selalu harus dimuliakan dan dilaksanakan segala titahnya serta
memegang kekuasaan yang absolute
2)
Tidak manusiawi,
tidak adil dan tidak beradab, dengan fakta eksistensi nyawa, darah, harkat dan
martabat manusia lebih rendah dari nilai-nilai kebendaan
3)
Tidak ada keadilan
hukum, ekonomi, politik dan penegakan HAM.
4)
Pemilu rutin lima
tahunan, tetapi sekedar ritual demokrasi. Dimana dalam prakteknya diberlakukan
sistem Kepartaian Hegemonik, yakni pemilu diikuti oleh beberapa partai politik,
tetapi yang harus dimenangkan, dengan menempuh berbagai cara, intimidasi,
teror, ancaman dan uang, hanya satu partai politik.
4. Tahun 1998- sekarang, orde reformasi dengan
ciri-ciri enam agenda:
·
Amandemen UUD 1945
·
Penghapusan peran
ganda (multifungsi) TNI
·
Penegakan supremasi
hukum dengan indikator mengadili mantan Presiden Soeharto atas kejahatan
politik, ekonomi dan kejahatan atas kemanusiaan.
·
Melaksanakan
otonomi daerah seluas-luasnya
·
Penegakan budaya
demokrasi yang anti feodalisme dan kekerasan
·
Penolakan sisa-sisa
Orde Lama dan Orde Baru dalam pemerintahan
Kapabilitas Sistem
Politik Indonesia
Suatu system politik
dapat dikatan selalu mempunyai kapabilitas dalam menghadapi kenyataan dan
tantangan terhadapnya. Dewasa ini telaahan tentang apa yang benar-benar
dilakukan atau dikerjakan oleh system politik telah menjadi salah satu ukuran
keberhasilan atau kegagalan suatu system politik. Penelaahan terhadap
sistem-sistem politik tersebut dapat mendorong kita kearah perkenalan dan
pengertian yang lebih mendalam tentang soal-soal perubahan politik.Prakarsa
perubahan politik tersebut dapat berasal dari tiga sumber yaitu Elit ( termasuk
elit yang duduk di dalam pemerintahan), dari kelompok-kelompok dalam
infrastrukturpolitik, lingkungan internasional.Perubahan politik tersebut akan
dapat menghasilkan pola hubungan baru antar tuntutan dan dukungan dalam sistem
politik yang bersangkutan.
1. Kapabilitas Ekstratif
Sumber daya alam
maupun manusia sering merupakan pokok pertama bagi kemampuan suatu sistem politik.
Bagaimana sumber daya itu diolah untuk kepentingan nasional, daerah, serta
masyarakat secara keseluruhan, merupakan masalah.kehidupan suatu sistem politik
sangat tergantung pada biaya yang dapat dikumpulkan dari kapasitas ekstratif
ini. Manusia mengambil manfaat untuk membiayai kehidupanya melalui pengolahan
sumber daya ala mini, kemudian melalui berbagai jalan anatara lainmalalui
pajak, sebagian biaya Negara diperoleh.Penerimaan Negara ini erat hubunganya
dengan masalah bagaimana birokrasi ( pegawai negeri yang bertugas mengadakan pelayanan
umum ), militer, dan lain-lainya mendapat pembiayaan agar dapat berprestasi,
bertanggung jawab, efesien, dan efektif. Kebijaksanaan tiap sistem politik
terhadap masalah penggalian sumber daya alam, penanaman modal domestic dan
modal asing berbeda. Perbedaan ini di sebabkan antara lain karena berbedanya
tuntutan. Bagaimana sistem-sistem politik menghadapi berbagai tuntutan, dan
apakah tuntutan-tuntutan tersebut masih berada dalam batas kemampuan ataukah
melampaui kemapuan sistem yang bersangkutan, sedikit banyak hal ini berhubungan
pula dengan kemampuan regulative.
2. Kapabilitas Distributif
Yang lebih berkaitan
dengan kapabilitas ekstratif ialah kapabilitas distributive. Setelah sumber
daya yang diolah hasilnya kemudian di distribusikan dan bahkan di distribusikan
kembali kepada masyarakat. Ditribusi barang, jasa, kesempatan, status, dan
bahkan juga kehormatan dapat diberi predikat sebagai prestasi riil sistem
politik. Distribusi ini ditujukan kepada individu maupaun semua kelompok dalam
masyarakat, seolah-olah sistem politik itu pengelola dan merupakan pembagi
segala kesempatan, keuntungan dan manfaat bagi masyarakat. Ukuran terpenting
kemampuan distibutif ini adalah kuantitas serta sifat tingkat pentingnya barang
yang didisbrusikan.
Bagaimana suatu sistem
poolitik menyelenggarakan pengawasan terhadap tingkah laku individu dan
kelompok yang berada di dalamnya, bagaimana penempatan kekuatan yang abash (
pemerintah ) untuk mengawasi tingkah laku manusia dan badan-badan lainya yang
berada di dalamnya.Semuanya merupakan ukuran kapabilitas untuk mengatur
atau mengendalikan.Bagaimana manusia atau kelompok dibawahkan pada
aturan-aturan dalam arti yang luas ( UUD, UU, dan sebagainya) sejauh mana daya
pengaturan menjangkau atau berpengaruh terhadap kehidupan individual maupun
kolektif dan bagaimana frekuensi atau intensitas intervensi suatu sistem
politik terhadapnya, semua ini merupakan ukuran kemampuan regulative. Mekanisme
suprastruktur politik Indonesia dalam menghadapi masalah pentingnya daya
regulative terhadap bidang-bidang yang dianggap vital dan menyangkut hajat
hidup rakyat, selalu menunjukan adanya perhatian yang serius.Dengan demikian
terlihat bahwa dari hal yang sekecil-kecilnya sampai hal yang besar, asal saja
masih dalam wilayah public, mel;alui hukum public, pemerintah mengadakan
pemaksaan dan pengaturan.Dalam kehidupan politik, pengaturan terhadap individu
oleh sistem politk menjadi penting, karena sering menyebabkan benturan
pendapat.
4. Kapabilitas Simbolik
Efeksifitas
mengalirnya symbol dari sistem politik terhadap lingkungan intra masyarakat
maupun terhadap lingkungan ekstra masyarakat menetukan tingkat kemepuan
simbolik ini.Maksudnya adalah patut dibedakan antara kapibilitas simbolik dengan
output simbolik.Dalam output simbolik antar lain termasuk pengukuhan nila-nilai
oleh elit, pameran kekuatan, upacara militer, kunjungan pejabat tinggi dan
sebagainya. Tingkat efektivtas output simbolik sukar diukur, tetapi sebagian
publisis sering mencoba menduganya.Melalui jumlah kerumunan massa, jumlah yang
hadir suatu acar, bahkan dari lamanya aplaus tanda setuju sewaktu pemimpin
berbicara atau berpidato dapat dijadikan indicator bagi output simbolik ini.
Petunjuk tentang tingginya kapabilitas simbolik ditentukan oleh atau bergantung
pada kreasi selektif pihak pemimpin dan pada penimbaan yang penuh olehnya
tehadap seperangkat penerimaan atau daya reseptif rakyat.Elit politik karenanya
harus mampu mengeluarkan kebijaksanaan atas dasar pertimbangan bahwa rakyat
akan dapat menerimanya, atau bahakan siap pula menerima penolakannya yang
menyakitkan, sehingga yang bersangkutan tidakpopuler lagi.
5. Kapabilitas Responsif
Sifat kemampuan
responsive atau daya tanggap suatu sistem politik ditentukan oleh hubungan antara
input dan output.Bagi para sarjan politik, telaahan tentang daya tanggap ini
akan menghasilkan bahan-bahan untuk analisi deskriftif, analisa yang bersifat
menerangkan, dan bahkan analisa yang bersifat meramalkan. Sistem politik harus
selalu tanggap terhadap setiap tekanan yang timbul dari lingkungan intra
masyarakatmaupun dari lingkungan ekstra masyarakatberupa berbagai tuntutan.
Dalam sistem politik demokrasi pancasila, kesimbangan antar tuntutan
pelaksanaan hak asasi manusia maupun legalitas kelompok lebih
diharmoniskan.Segi-segi kelemahan proses pengambilan keputusan yang selalu
memperhatikan pola-pola demokrasibarat, dan kebaikan-kebaikan dari pengambilan
keputusan yang didasrakan pada adanya saluran-saluran tertentu yang lebih resmi
sebagai sandaran kekuatan, juga mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.
6. Kapabilitas Dalam
Negeri dan Internasional
Kapabilitas domestic
suatu sistem politik sedikit banyak juga ada pengaruhnya terhadap kapabilitas
Internasionalnya.yang dimaksud dengan kapabilitas internasional ialah kemapuan
yang memanvar dari dalam ke luar. Tingkah laku internasional suatu sistem
politik, ditentiukan pula oleh kapabilitasekstratif internasional dalam bentuk
pendapatan dari perdagangan luar negeir dan lain-lainya.Oleh karena itu yang dinamakan
kapabilitas regulative yang bersifatinternasional adalah bagaiman suatu sistem
politik mempengaruhi dan mengendalikan sistem sistem poltitk lainyadeangan
segala tingkat gradasi intensitas.Pengendalian atau pengaruh luar terhadap
sistem politik tertentu yang dilakukan oleh suatu sistem politik antara lain
termanisfestasi dalam kebijaksanaan dalam negeri ataupun luar negerinya.
Hubungan anatar input lingkungan luar masyarakat dan output sistem politik yang
menerima pengaruh lingkungan tersebut, dan bagaimana sistem politik tersebut
memberikan tanggapan , antara lain berupa kebijaksanaan luar negerinya,
merupakan kapabilitas responsive yang bersifat internasional.Dengan demikian
nyata terdapat hubungan erat antar kapasitas dalam negeri dengan kapasitas luar
negeri dari suatu sistem politik.
http://lenamegawati.blogspot.com/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-x.html
0Awesome Comments!