“ERVING GOFFMAN”
BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
Interaksionisme simbolik sesungguhnya merupakan bagian dari psikologi
sosial yang membahas interaksi antar-individu
dengan menggunakan simbol-simbol tertentu. Konsep interaksionisme simbolik dari
Erving Goffman juga membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan interaksi
antara individu-individu dan juga melibatkan simbol-simbol dan
penafsiran-penafsiran dimana peranan antara the self dan the other
mendapat perhatian yang sama dalam koteks interaksi. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu kepada
konsep-konsep impression management,
role distance, dan secondary adjustment dimana ketiganya bertumpu pada konsep dan
peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga
menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu
interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi
dalam analisis sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah Dramaturgy. Dramaturgy adalah situasi dramatik yang
seolah-olah terjadi diatas panggung sebagai ilustrasi untuk menggambarkan
individu-individu dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan
sehari-hari. Goffman menggambarkan peran dari para individu-individu yang
berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial yang ada dan sedang dihadapinya melalui panggung sandiwara serta menggunakan
jalan cerita yang telah ditentukan sebelumnya. Seperti layaknya sebuah panggung pementasan ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian depan)
dan backstage (panggung bagian
belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan
dan fungsi backstage terhadap
keberhasilan penampilan di frontstage,
kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar
bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut.
Interaction Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Erving Goffman sebelum
ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Erving Goffman secara konsisten
tetap menyoroti masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala
yang terkecil atau terendah menuju skala terbesar atau tertinggi, yaitu yang
terdiri dari persons, contact, encounters, platform
performances, dan celebrations. Meskipun hampir
sebagian besar analisis Erving Goffman tidak menyertakan konsep penting
interaksionisme simbolik, yaitu self
interaction, namun bagi Erving Goffman, seorang aktor yang berada 'diatas panggung' itu harus mampu
menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga atas
dasar kemampuannya itu manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Erving
Goffman, sebagai makhluk yang aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi
situasi yang di hadapinya. Hal inilah yang mendasari pandang Erving Goffman
bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan analisis secara mandiri atas
kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya di dalam masyarakay itu sendiri. Kalau kita perhatikan diri kita itu
dihadapkan pada tuntutan untuk tidak ragu-ragu melakukan apa yang diharapakan
diri kita. Untuk memelihara citra diri yang stabil, orang melakukan
“pertunjukan” (performance) di hadapan khalayak. Sebagai hasil dari minatnya
pada “pertunjukan” itu, Goffman memusatkan perhatian pada dramaturgi atau
pandangan atas kehidupan sosial sebagai serangkaian pertunjukan drama yang
mirip dengan pertunjukan drama di panggung.
Fokus
pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang orang lakukan, bukan apa yang ingin
mereka lakukan, atau mengapa mereka melakukan, melainkan bagaimana mereka
melakukannya. Berdasarkan pandangan Kenneth Burke bahwa pemahaman yang layak
atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan, dramaturgi menekankan
dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia. Burke melihat tindakan sebagai
konsep dasar dalam dramatisme. Burke memberikan pengertian yang berbeda antara
aksi dan gerakan. Aksi terdiri dari tingkah laku yang disengaja dan mempunyai
maksud, gerakan adalah perilaku yang mengandung makna dan tidak bertujuan.
Masih menurut Burke bahwa seseorang dapat melambangkan simbol-simbol. Seseorang
dapat berbicara tentang ucapan-ucapan atau menulis tentang kat-kata, maka
bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk aksi. Karena adanya kebutuhan sosial
masyarakat untuk bekerja sama dalam aksi-aksi mereka, bahasapun membentuk
perilaku.
Dramaturgi
menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna
kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam
interaksi dengan orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia
bersifat ekspresif inilah maka perilaku manusia bersifat dramatik. Pendekatan
dramaturgis Goffman berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi
dengan sesamannya, ia ingin mengelola pesan yang ia harapkan tumbuh pada orang
lain terhadapnya. Untuk itu, setiap orang melakukan pertunjukan bagi orang
lain. Kaum dramaturgis memandang manusia sebagai aktor-aktor di atas panggung
metaforis yang sedang memainkan peran-peran mereka. Burce Gronbeck memberikan
sketsa tentang ide dasar dramatisme seperti pada gambar berikut (Littlejohn, 1996:166):
Pengembangan
diri sebagai konsep oleh Goffman tidak terlepas dari pengaruh gagasan Cooley
tentang the looking glass self. Gagasan diri ala Cooley ini terdiri dari tiga
komponen. Pertama, kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagi orang lain;
kedua, kita membayangkan bagimana peniliaian mereka atas penampilan kita;
ketiga, kita mengembangkan sejenis perasaan-diri, seperti kebanggaan atau malu,
sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Lewat imajinasi,
kita mempersepsi dalam pikiran orang lain suatu gambaran tentang penampilan
kita, perilaku, tujuan, perbuatan, karakter teman-teman kita dan sebagainya,
dan dengan berbagai cara kita terpangaruh olehnya.
Konsep yang
digunakan Goffman berasal dari gagasan-gagasan Burke, dengan demikian
pendekatan dramaturgis sebagai salah satu varian interaksionisme simbolik yang
sering menggunakan konsep “peran sosial” dalam menganalisis interaksi sosial,
yang dipinjam dari khasanah teater. Peran adalah ekspektasi yang didefinisikan
secara sosial yang dimainkan seseorang suatu situasi untuk memberikan citra
tertentu kepada khalayak yang hadir. Bagaimana sang aktor berperilaku
bergantung kepada peran sosialnya dalam situasi tertentu. Focus dramaturgis
bukan konsep-diri yang dibawa sang aktor dari situasi kesituasi lainnya atau
keseluruhan jumlah pengalaman individu, melainkan diri yang tersituasikan
secara sosial yang berkembang dan mengatur interaksi-interaksi spesifik.
Menurut Goffman diri adalah “suatu hasil kerjasama” (collaborative manufacture)
yang harus diproduksi baru dalam setiap peristiwa interaksi sosial. Kehidupan
manusia tampaknya akan berjalan “normal” bila kita mengikuti ritual-ritula
kecil dalam interaksi ini, meskipun kita tidak selamanya menjalankannya. Etiket
adalah kata lain untuk ritual itu, yakni seperangkat penghargaan yang sama yang
melandasi apa yang pantas dan tidak pantas kita lakukan dalam suatu situasi.
Goffman menegaskan bahwa masyarakat memang memobilisasikan anggota-anggotanya
untuk menjadi para peserta yang mengatur diri-sendiri, yang mengajari kita apa
yang harus dan tidak boleh kita lakukan dalam rangka kerjasama untuk
mengkonstruksikan diri yang diterima secara sosial, salah satunya adalah lewat
ritual, Menurut Goffman keterikatan emosional pada diri yang kita proyeksikan
dan wajah kita merupakan mekanisme paling mendasari kontrol sosial yang saling
mendorong kita mengatur perilaku kita sendiri. Wajah adalah suatu citra-diri
yang diterima secara sosial. Menampilkan wajah yang layak adalah bagian dari
tatakrama situasional, yaitu aturan-aturan mengenai kehadiran diri yang harus
dikomunikasikan kepada orang lain yang juga hadir.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Teori Dramaturgi
Erving Goffman
Dramaturgi
adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Erving Goffman
menyebutnya sebagai bagian depan (front) dan bagian belakang (back). Front
mencakup, setting, personal front (penampilan diri), expressive equipment
(peralatan untuk mengekspresikan diri). Sedangkan bagian belakang adalah the
self, yaitu semua kegiatan yang tersembunyi untuk melengkapi keberhasilan
acting atau penampilan diri yang ada pada Front. Berbicara mengenai Dramaturgi
Erving Goffman, maka kita tidak boleh luput untuk melihat George Herbert Mead
dengan konsep The Self, yang sangat mempengaruhi teori Goffman.
Erving Goffman
lahir di Mannville, Alberta, Canada, 11 Juni 1922. Meraih gelar Bachelor of
Arts (B.A) tahun 1945, gelar Master of Arts tahun 1949 dan gelar Philosophy
Doctor (Ph.D) tahun 1953. Tahun 1958 meraih gelar Guru Besar, tahun 1970
diangkat menjadi anggota Committee for Study of Incarceration. Dan tepat di
tahun 1977 ia memperoleh penghargaan Guggenheim. Meninggal pada tahun 1982,
setelah sempat menjabat sebagai Presiden dari American Sociological Association
dari tahun 1981-1982. (Ritzer, 2004: 296)
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa, karya-karya Erving Goffman sangat dipengaruhi oleh
George Herbert Mead yang memfokuskan pandangannya pada The Self. Misalnya, The
Presentation of self in everyday life (1955), merupakan pandangan Goffman yang
menjelaskan mengenai proses dan makna dari apa yang disebut sebagai interaksi
(antar manusia). Dengan mengambil konsep mengenai kesadaran diri dan The Self
Mead, Goffman kembali memunculkan teori peran sebagai dasar teori Dramaturgi.
Erving Goffman mengambil pengandaian kehidupan individu sebagai panggung
sandiwara, lengkap dengan setting panggung dan akting yang dilakukan oleh
individu sebagai aktor “kehidupan.”
Lalu,
bagaimanakah sebenarnya dengan “The Self” Mead tersebut?
“Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. The Self disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo, 2004: 107)
“Bagi Mead, The Self lebih dari sebuah internalisasi struktur sosial dan budaya. The Self juga merupakan proses sosial, sebuah proses dimana para pelakunya memperlihatkan pada dirinya sendiri hal-hal yang dihadapinya, didalam situasi dimana ia bertindak dan merencanakan tindakannya itu melalui penafsirannya atas hal-hal tersebut. Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan peran tersebut, lalu memberikan respon atas tindakan-tindakan itu. Konsep interaksi pribadi (self interaction) dimana para pelaku menunjuk diri mereka sendiri berdasarkan pada skema Mead mengenai psikologi sosial. The Self disini bersifat aktif dan kreatif serta tidak ada satupun variable-variabel sosial, budaya, maupun psikologis yang dapat memutuskan tindakan-tindakan The Self.” (Wagiyo, 2004: 107)
Dari deskripsi
di atas, Mead menegaskan bahwa The Self merupakan mahluk hidup yang dapat
melakukan tindakan, dan bukan sesuatu yang pasif yang semata-mata hanya
menerima dan merespon suatu stimulus belaka. Secara hakiki, pandangan Mead
merupakan isu sentral bagi interaksionisme simbolik. Dramaturgi itu sendiri merupakan sumbangan Erving
Goffman bagi perluasan teori interaksi simbolik. Mead menyatakan bahwa konsep
diri pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan mengenai
“siapa aku” untuk kemudian dikumpulkan dalam bentuk kesadaran diri individu
mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang
berlangsung. Pendapat Mead tentang pikiran adalah bahwa pikiran mempunyai corak
sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara “aku” dengan “yang
lain” pada titik ini, konsepsi tentang “aku” itu sendiri merupakan konsepsi
orang lain terhadap individu tersebut. Atau dengan kalimat singkat, individu
mengambil pandangan orang lain mengenai dirinya seolah-olah pandangan tersebut
adalah “dirinya” yang berasal dari “aku.”
Pada pandangan Erving
Goffman, kesadaran diri adalah hasil adopsi dari ajaran-ajaran Durkheim. Dan
bagi Goffman, struktur sosial merupakan countless minor synthesis
(sintesis-sintesis kecil yang tak terbilang), dimana manusia –ini menurut
Simmel- merupakan atom-atom atau partikel-partikel yang sangat kecil dari
sebuah masyarakat yang besar. Dan ide serta konsep Dramaturgi Goffman itu
sendiri, menolong kita untuk mengkaji hal hal yang berada di luar perhitungan
kita (hal-hal kecil yang tak terbilang tersebut), manakala kita menggunakan
semua sumber daya yang ada di bagian depan dan bagian belakang (front and back
region) dalam rangka menarik perhatian orang-orang yang disekeliling kita.
Bentuk-bentuk interaksi, komunikasi tatap muka, dan pengembangan konsep-konsep
sosiologi, merupakan sumbangan Goffman bagi interaksionis simbolik bahkan
Goffman juga mempengaruhi tokoh-tokoh di luar interaksionis simbolik. Walaupun
pada karya terakhirnya, Goffman terfokus pada gerakan-gerakan yang mengarah
pada bentuk-bentuk strukturalisme masyarakat.
B. THE PRESENTATION
OF SELF IN EVERYDAY LIFE
Goffman bukan memusatkan perhatiannya pada struktur
social. Dia lebih tertarik pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama.
Interaksi tatap muka dibatasainya sebagai individu-individu yang saling
mempengaruhi tindakan-tindakan mereka satu sama lain ketika masih berhadapan
secara fisik. Biasanya terdapat suatu arena kegiatan yang terdiri dari
serangkaian tindakan individu itu. Dalam situasi social, seluruh kegiatan dari
partisipan tertentu disebut sebagai penampilan(performance), sedang orang lain
yang terlibat didalam situasi itu disebut pengamat atau partisipan lainnya.
Didalam membahas petunjukan, goffman menyaksikan
bahwa individu dapat menyaksikan suatu pertunjukan(show) bagi orang lain,
tetapi kesan(impression) si pelaku
pertunjukan itu berbeda-beda. Seorang bisa merasa yakin akan tindakan yang di
perhatikannya, atau pula bisa bersikap sinis terhadap pertunjukan itu. Didalam
proses interaksi, seorang pelaku dilihat bersama tindakannya, dan penonton
melihat dan menerima pertunjukan itu.
Menurut Goffman, dua bidang penampilan perlu
dibedakan. Panggung depan (front region)
adalah bagian penampilan individu yang secara teratur berfungsi didalam mode
yang umum dan tetap untuk mendefenisikan situasi bagi mereka yang menyaksikan
penampilan tersebut. Di dalamnya termasuk setting dan personal front yang
selanjutnya dapat di bagi menjadi penampilan (apperaence) dan gaya (manner). Dramaturgy memperlakukan self sebagai produk yang
ditentukan oleh situasi social. Ini sama dengan karakter di panggung yang
merupakan produk dari naskah yang sebelumnya sudah dibuat untuk memerinci
berbagai langkah serta kegiatannya. Karakter tersebut terdapat didalam system
panggung teater yang tertutup, tanpa mempertimbangkan dunia yang lebih besar di
luar teater itu. Selama pertunjukan
berlangsung tugas utama actor adalah mengendalikan kesan yang di sajikannya
selama pertunjukan. Goffman menyatakan bahwa perbedaan pendapat di antara
para anggota tim tidak hanya melumpuhkan kesatuan bertindak, akan tetapi juga
membuat kikuk realitas yang mereka sponsori. Selama kegiatan rutin anggota tim
harus dapat dipercaya dan oleh karena itu mereka harus dipilih dengan
hati-hati. Seorang pelaku harus berhasil memainkan satu karakter. Bila terjadi
krisis atau situasi gawat, demi menyelamatkan pertunjukan dia harus memiliki
atribut-atribut tertentu. Goffman mengidentifikasi tiga kategori atribut dan
praktek yang dipakai untuk melindungi si pelaku dari berbagai kesulitan
1.
Langkah bertahan yang diambil oleh
si pelaku untuk menjamin kelangsungan pertunjukannya
2.
Langkah pencegahan yang di ambil
oleh penonton dan pihak lain untuk membantu si pelaku menjamin kelangsungan
pertunjukannya
3.
Langkah yang ahrus diambil si
pelaku untuk memungkinkan para penonton dan pihak lain untuk mengambil
langkah-langkah pencegahan demi kepentingan si pelaku sendiri.
Di dalam langkah-langkah bertahan adalah kesetiaan
dramaturgis semacam kewajiban moral untuk mendiamkan pelaksanaan mereka,
disiplin dramaturgis ( termasuk tetap berpegang pada bagiannya dan tidak terpengaruh
oleh pertunjukannya sendiri ), dan kewaspadaan dramaturgis ( penggunaan metode
yang tepat untuk menyajikan pertunjukan itu telah di tentukan sebelumnya ).
Menurut Goffman , kesetiaan, disiplin dan kewaspadaan adalah merupakan tiga
atribut esensial bagi keberhasilan tim melaksanakan pertunjukannya.
C. ASYLUMS :
DRAMATURGI EMPIRIS ANALISA INSTITUSI TOTAL
Buku kedua Goffman, Asylums (1961a) merupakan buku yang memiliki sifat metedologis dan
teoritis. Data yang di pergunakannya merupakan hasil pengamatan di rumah sakit
jiwa selama lebih dari emapt tahun, setahun di antaranya merupakan pengamatan
yang rekonstrasi lewat pengamatan lapangan rumah sakit. St Elizabeth
Washington. Goffman ingin mempelajari dunai social para penghuni rumah sakit
dan berhasil dengan sangat cemerlang mengorganisir “insight” dan pengamatannya
kedalam suatu perspektif teoritis.
Dramaturgi Goffman berkenan dengan interaksi yang
seolah-olah merupakan produk suatu sitem tertutup yang di sebutnya institusi
total. Institusi total adalah tempat tinggal dan kerja dimana sejumlah besar
individu, yang untuk waktu cukup waktu
lama terlepas dari masyarakat luas, bersama-sama terlibat dan berperan dimana
kehidupan di atur secara formal. Lima kategori institusi total, yaitu :
1.
Institusi yang dibangun untuk
merawat orang yang dianggap tidak mampu dan tidak berbahaya, misalnya
tunawisma, dll
2.
Tempat yang dibangun untuk orang
yang dianggap tidak mampu merawat dirinya sendiri dan berbahaya bagi masyarakat
meskipun mereka tidak bermaksud demikian, misalnya rumah sakit jiwa
3.
Institusi total yang ketiga
diorganisir untuk melindungi masyarakat dari apa yang dirasakan sebagai bahaya
yang mengancam dimana kesejahteraan mereka yang diasingkan tetapi tidak
dianggap sebagai suatu masalah seperti kamp tawanan perang atau penjara
4.
Institusi yang dasarnya dibangun
untuk menunaikan beberapa tugas yang mirip dengan kerja dan yang mengesahkan
diri mereka diatas dasar instrumental seperti barak tentara, asrama sekolah,
dll
5.
Lembaga kemasyarakatan yang
dirancang sebagai tempat mengasingkan diri dan kadang-kadang sering berfungsi
sebagai tempat latihan keagamaan seperti biara, pendopo dan tempat penyepian
lainnya.
D. ILUSTRASI LEBIH
LANJUT TENTANG MANAJEMEN KESAN
Dalam buku Ecounters:
Two studies of interaction Goffman melanjutkan minatnya dalam
menjelaskan interaksi tatap muka.
Ecounters merupakan studi pengendalian kesan dalam kelompok-kelompok yang tidak berusia panjang.goffman memusatkan
perhatian pada interaksi tatap muka ketika secara efektif oran setuju
memelihara satu-satunya focus perhatian yang bersifat kognitif dab visual. Goffman
masih menggunakan kerangka dramaturgisnya dengan individu yang mahir memainkan
peran yang sebagian ditentukan oleh dan merupakan reaksi terhadap hambatan
structural.
Kesenjangan social adalah pemisahan yang jelas
antara individu dengan perananya. Keterikatan peranan adalah keterikatan yang
nyata kepada peranan. Kesenjangan peranan dan keterikatan peranan berhubungan
dengan status, termasuk usia, jenis kelamin, pendidikan dan variable yang
berhubungan lainnya.
Minat Goffman dalam kelompok-kelompok social yang
tidak abadi di lanjutkan dalam bukunya: Behavior
in Public Places; Notes on the Social Organization of Gatherins (1963a).
Disini Goffman mengamati hubungan tatap muka yang terjadi dijalan, taman,
teater, took dan berbagai tempat pertemuan lainnya, mengenai diri seorang
pelaku melalui penggambaran penyajian diri dalam situasi non kelembagaan.
Disini orang berhati-hati dalam mengendalikan kesan yang diberikan kepada orang
lain yang terlibat dalam situasi singkat tersebut.
Dalam bukunya Stigma:
Notes on the Management of Spoiled Identity(1963b) Goffman menberikan
beberapa penyajian diri yang problematis. Aib(stigma)
menunjuk pada orang-orang yamg memiliki cacat sehingga tidak memperoleh
penerimaan social yang sepenuhnya, seperti kelompok minoritas atau orang buta.
Menurut Goffman mereka merupakan orang yang direndahkan
atau dapat direndahkan. Yang
direndahkan adalah orang yang aibnya terlihat denagn mudah seperti kelompok
minoritas sedangkan yang dapat direndahkan adalah mereka yang kekurangannya
untuk mengikuti standar penerimaan social tidak langsung terlihat seperti
seorang salesman yang berpakaian rapi tidak Nampak bahwa ia adsalah seorang
mantan napi.
E. FRAME ANALISIS:
SUATU ESAI TENTANG ORGANISASI PENGALAMAN
Frame analisis pada dasarnya merupakan study realitas subjektif. Frame dibatasi sebagai
defenisi situasi yang dibentuk sesuai denagn prinsif organisasi yang mengatur
peristiwa dan keterlibatan subjektif. Frame mengorganisir pengalaman individual
dan mengandung berbagai tingkat realitas. Walaupun tekananya bersifat
subjektif, tetapi mereka tidak semata-mata sebagai masalah gagasan saja.
Berbagai aturan dan norma mengendalikan kegiatan kita dan untuk situasi
tertentu kita belajar menggunakan frame yang
tepat. Dalam setiap kegiatan tertentu kita menggunakan frame untuk menangkap
apa yang terjadi. Kita perlu membaca setiap sitauasi memahaminya dan itu kita
lakukan dengan menggunakan norma-norma atau aturan-aturan yang telah ada. Dalam
karyanya kita kembali dapat menemukan tema pengendalian kesan. Seorang akan
menunjukkan kedirian sesuai dengan situasi saat itu juga. Self terungkap dalam perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan atau
norma-norma yang disediakan oleh frame.
BAB III
PENUTUP
Erving Goffman
dalam bukunya yang berjudul “The Presentational of Self in Everyday Life”
memperkenalkan konsep dramaturgi yang bersifat penampilan teateris. Banyak ahli
mengatakan bahwa dramaturginya Goffman ini ini berada di antara tradisi
interaksi simbolik dan fenomenologi (Sukidin, 2002: 103).
Maka sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif yang lain. Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Maka sebelum menguraikan teori dramaturgis, perlu kita uraikan terlebih dahulu sekilas tentang inti teori interaksi simbolik. Hal ini didasari bahwa perspektif interaksi simbolik banyak mengilhami teori dramaturgis, di samping persektif-perspektif yang lain. Interaksi simbolik sering dikelompokan ke dalam dua aliran (school). Pertama, aliran Chicago School yang dimonitori oleh Herbert Blumer, melanjutkan tradisi humanistis yang dimulai oleh George Herbert Mead. Blumer menekankan bahwa studi terhadap manusia tidak bisa dilakukan dengan cara yang sama seperti studi terhadap benda. Blumer dan pengikut-pengikutnya menghindari pendekatan-pendekatan kuatitatif dan ilmiah dalam mempelajari tingkah laku manusia. Lebih jauh lagi tradisi Chicago menganggap orang itu kreatif, inovatif, dan bebas untuk mendefinisikan segala situasi dengan berbagai cara dengan tidak terduga. Kedua Iowa School menggunakan pendekatan yang lebih ilmiah dalam mempelajari interaksi. Manford Kuhn dan Carl Couch percaya bahwa konsep-konsep interaksionis dapat dioperasikan. Tetapi, walaupun Kuhn mengakui adanya proses dalam alam tingkah laku, ia menyatakan bahwa pendekatan struktural objektif lebih efektif daripada metode “lemah” yang digunakan oleh Blumer.
Interaksionisme
simbolik mengandung inti dasar pemikiran umum tentang komunikasi dan
masyarakat. Jerome Manis dan Bernard Meltzer memisahkan tujuh hal mendasar yang
bersifat teoritis dan metodologis dari interaksionisme simbolik, yaitu:
1. Orang-orang dapat mengerti berbagai
hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu diterjemahkan
dalam siombol-simbol.
2. Berbagai arti dipelajari melalui
interaksi di antara orang-orang. Arti muncul dari adanya pertukaran
simbol-simbol dalam kelompok-kelompok sosial.
3. Seluruh struktur dan institusi
sosial diciptakan dari adanya interaksi di antara orang-orang.
4. Tingkah laku seseorang tidaklah
mutlak ditentukan oleh kejadian-kejadian pada masa lampa saja, tetapi juga
dilakukan secara sengaja.
5. Pikiran terdiri dari percakapan
internal, yang merefleksikan interaksi yang telah terjadi antara seseorang
dengan orang lain.
6. Tingkah laku terbentuk atau tercipta
di dalam kelompok sosial selama proses interaksi.
7. Kita tidak dapat memahami pengalaman
seorang individu dengan mengamati tingkah lakunya belaka. Pengalaman dan
pengertian seseorang akan berbagai hal harus diketahui pula secara pasti.
DAFTAR PUSTAKA
Poloma,Margaret. 2010”
SOSIOLOGI KONTEMPORER”: Raja grafindo. Jakarta
0Awesome Comments!