Arabisasi Islam dan Legitimasi Politik
Belakangan
ini terdapat fenomena baru dan populis dimana umat Islam Indonesia tengah
menggandrungi Arabisasi dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah pada suatu
bentuk perubahan dan pergeseran pola keber-islaman. Bagi kalangan
fenomenologis, realitas sosial semacam ini bisa dikatakan sebagai bagian dari
eksoterisme Islam, yaitu perilaku simbolistik; bagaimana menerjemahkan agama ke
dalam simbol-simbol agama itu sendiri, dan ‘naasnya’ selama ini pemahaman
terhadap Islam dan Arab menjadi suatu yang tidak dapat dipisahkan, dengan kata
lain identitas ke-Islaman seseorang dinilai ‘mumpuni’ jika akrab dengan Arab,
baik itu budaya, bahasa, dan pakaiannya.
Islam
dan Arab, secara historis keduanya sangat berdekatan, terlebih dalam proses
Islamisasi. Namun jika ditarik ke dalam istilah Arabisasi, antara
keduanya–Islamisasi dan Arabisasi–mempunyai kesamaan dalam format pada sebuah
proses yang mengandalkan semangat internalisasi nilai-nilai sebagai kekuatan
dalam memberikan warna terhadap realita baru yang berkembang di masyarakat.
Karena Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw. pertama kali turun di
tanah Arab, dengan memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantarnya. Semua
aturan dan norma Islam disampaikan dengan bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an
dan al-Sunnah. Implikasi dari pemahaman ini mengharuskan bagi semua pihak yang
ingin memahami Islam wajib paham dan mengerti tentang bahasa Arab. Sedang yang
membedakan antara Islamisasi dan Arabisasi terdapat pada substansi yang
dikandungnya. Islamisasi sebagai suatu proses internalisasi dari nilai-nilai
Islam pada temuan-temuan baru yang belum ada semangat keislamannya memberikan
mandat agar memasukan ajaran Islam di dalamnya atau menyesuaikannya dengan
nilai-nilai ajaran Islam. Dalam hal ini, semua temuan baru, baik di bidang
ekonomi, sosial dan ilmu pengetahuan, harus tunduk dengan aturan Islam. Islam
sebagai agama ditempatkan pada posisi yang tinggi memandu umat manusia
menjalankan kehidupannya di dunia.
Adapun
Arabisasi tidak lain dari sekedar budaya yang berkembang di tanah Arab, baik
melingkupi aspek bahasa maupun ilmu pengetahuan, yang suatu ketika dapat
dijadikan acuan oleh pihak lain dalam mengambil i’tibar untuk diterapkan
kembali pada kondisi yang berbeda. Pada posisi seperti ini, menyamakan antara
Islamisasi sebagai proses internalisasi nilai-nilai suatu agama dengan
Arabisasi yang hanya mengakar pada budaya adalah sebuah tindakan yang tidak
dapat diterima bahkan merupakan bentuk perbandingan yang tidak berimbang.
Karena meskipun sebuah realita bahwa Islam diturunkan di tanah Arab dengan
memakai bahasa Arab, tetapi tidak berarti budaya lokal masyarakat Arab sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Di sisi lain, banyak intelektual yang mengaitkan
fenomena Arabisasi dalam kehidupan umat Islam Indonesia adalah karena proses
geopolitik dimana fase radikalisasi keagamaan tengah terjadi di Indonesia.
Andrée Feillard dan Rémy Madinier dalam La Fin de l’Innocence menelaah
hal menarik. Menurut mereka, dua hal yang gampang dibaca dari fenomena Islam
radikal sejak akhir Orde Baru hingga sekarang ialah penyederhanaan ideologis
dan manipulasi politik yang kemudian berkembang menjadi Islam politik dengan
pengkaderan yang terorganisasi yang bertumbuh melalui pengajaran praktis
doktrin negara-agama (seperti bentuk kekhalifahan) Sekaligus bisa memanfaatkan
wahana kekuasaan untuk merebut pengaruh. Globalisasi dimanfaatkan betul untuk
menyebarkan benih-benih kekerasan secara lintas-batas. Kalangan muslim radikal
sering kali membenarkan gagasan ‘benturan antarperadaban’ yang ditelan
mentah-mentah dan lalu membangun cara pembelaan diri dengan mempertebal
identitas agama dengan sebagai bargain politik, dengan kata lain
menajamkan istilah-istilah ke-Araban di tengah-tengah komunitas eksklusif mereka.
Sedangkan
menurut Nikolaos van Dam, seorang Indonesianis, menilai bahwa kata-kata bahasa
Arab yang pada akhirnya diserap ke dalam bahasa Indonesia terjadi akibat proses
dialektika masyarakat lokal dengan kaum pendatang berkebangsaan Arab, dan
umumnya terjadi di tengah masyarakat pedagang atau lembaga-lembaga pendidikan
Islam semisal pesantren. Perbedaannya adalah pada pemaknaan yang berubah,
sebagaimana dikatakan Ricoeur bahwa pemahaman pengucapan sebagai suatu
peristiwa adalah inti transisi dari suatu linguistik tanda kepada linguistik
pesan, berarti telah terjadi pergeseran makna ucapan yang menimbulkan multi
interpretasi. Hal ini dikarenakan para pendatang yang biasanya berdagang di
beberapa daerah Nusantara menggunakan bahasa kolokial (sehari-hari) yang telah
terlepas dari akar katanya dalam bahasa Arab klasik. Nikolas Van Dam mengutip
Kees Versteegh yang mengemukakan kebanyakan kata serapan itu bersumber dari
bahasa Mesir dan Saudi, dimana aksara yang berfonem ‘j’ diucapkan sebagai ‘g’
seperti dalam logat mesir, ‘gamal’ untuk ‘unta’ (Arab = Jamal, Mesir = Gamal),
dan kata-kata dengan pelafalan ‘G’ untuk ‘Q’ dalam logat orang-orang Saudi
seperti dalam ‘gamis’ untuk ‘kemeja’ (Arab = Qamis). Dan ketika terjadi suatu
peristiwa yaitu proses jual-beli, semisal si Arab berkata Gamis yang sebenarnya
dimaksudkan adalah pakaian secara umum, tetapi masyarakat lokal setempat lantas
mengasumsikan bahwa Gamis adalah sebutan untuk pakaian khas budaya Arab yang
berukuran panjang menutupi seluruh tubuh.
Sedangkan
untuk kalangan kedua yang bertempatan dalam lembaga pendidikan semacam
pesantren, lebih menekankan pada penguasaan bahasa Arab secara gramatikal.
Selain itu mereka juga berinteraksi dengan ulama-ulama yang datang dari Timur
Tengah dan mempelajari kitab-kitab berbahasa Arab klasik, bukan bahasa kolokial
sebagaimana yang digunakan kaum pedagang. Namun baik keduanya, apakah melalui
jalur perdagangan maupun pendidikan, penyebaran Islam di Indonesia pun tidak
lepas dari penggunaan bahasa Arab yang digunakan, sehingga dengan demikian
sangat mempengaruhi mindset penduduk lokal bahwasannya bahasa memuat ideologi
atau agama tertentu, dalam hal ini Arab sangat inheren dengan Islam. Struktur
sosial masyarakat Indonesia yang paternalistik telah menguntungkan kelompok ini
karena mereka dianggap sebagai kelompok elit yang menjadi panutan masyarakat.
Darah Arab yang ada pada kelompok komunitas tertentu menjadikan mereka
mempunyai legitimasi yang kuat dan otoritas yang tinggi untuk menjadi pemimpin
agama. Selain itu secara akademik mereka juga memiliki legitimasi yang cukup
kuat karena pada umumnya mereka adalah lulusan sekolah Timur Tengah dan
menguasai bahasa Arab secara baik.
Lain
halnya dengan Fazlur Rahman, ia menegaskan bahwa ilmu itu pada dasarnya baik,
demikian halnya dengan bahasa, dan yang membuat tidak obyektif adalah
penyalahgunaannya. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa bahasa adalah fasilitas
apresiasi realitas, sementara akal merupakan motor penggerak segala aktivitas
manusia, termasuk kompetensi manusia dalam menggunakan bahasa sebagai alat
apresiasi. Akan tetapi fenomena Arabisasi pada beberapa komunitas keislaman di
Indonesia tidak bisa serta merta diartikan sebagai bentuk penyalahgunaan. Sebab
jika diartikan demikian, kita tak dapat menggeneralisir telah terjadi kesalahan
berpikir sebagaimana yang dikatakan Dardjowidjojo dalam bukunya Bahasa Sebagai
Cermin Pola Pikir, bahwa logika atau nalar tidak ada dalam bahasa, logika
terletak pada si pemakai bahasa.
Dalam
konteks budaya, penulis sependapat dengan beberapa pakar linguistik yang
mengatakan bahwa bahasa adalah hasil produk dari suatu budaya, dan kata-kata
yang terdapat di dalamnya terdiri dari simbol-simbol yang melambangkan kondisi
dan realitas dari suatu komunitas masyarakat. Sehingga dalam berkomunikasi,
simbol-simbol tersebut beralihfungsi menjadi makna. Maka dengan demikian, akan
terciptalah komunikasi paralel antara beberapa komunikator yang memberikan
pemaknaan terhadap simbol-simbol tersebut dalam bentuk makna yang sempurna.
Oleh karena itu, maka setiap kata dalam suatu bahasa dapat bersifat emosional
dan tidak pernah netral. Maksudnya, setiap sikap, putusan, dan perasaan kita
selalu terdapat dalam bahasa yang kita gunakan. Bahasa disamping sebagai sebuah
simbol, juga merupakan alat komunikasi serta sebagai akulturasi.